Jilbab yang Disalahpahami
![]() |
Setelah menyelesaikan
sekolah dasar, saya kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah menengah pertama berbasis islam, yaitu Madrasah
Tsanawiyah (MTs). Menempuh pendidikan di sekolah islam, adalah satu-satunya
alasan saya memakai jilbab. Sudah jelas, bahwa ketika memakai jilbab, keputusan
tersebut bukanlah sepenuhnya kesadaran yang tulus, melainkan sebuah sistem yang mengharuskan.
Namun, hal tersebut sama sekali bukan sebagai narasi penyesalan ataupun
kekeliruan dalam mengambil keputusan, sebab hingga hari ini, jilbab
telah menjadi bagian dari identitas saya.
Atas segala stigma
hingga ekspektasi orang lain menyangkut ukuran jilbab ataupun model jilbab yang
saya kenakan, adalah di luar kapasitas saya untuk mengendalikannya. Tapi satu
hal yang perlu diketahui, bahwa jilbab yang saya kenakan biarlah menjadi urusan
saya saja.
. . .
Jilbab, selembar kain yang
digunakan oleh muslimah untuk menutup kepala, namun sering kali disalahpahami
dan diperdebatkan. Mirisnya lagi, keputusan memakai jilbab hari ini telah
menjadi penghakiman antara surga dan neraka, lho. Bukan hanya itu, berjilbab
juga dianggap sebagai satu-satunya simbol seseorang telah berhijrah, padahal
setiap orang mempunyai perjalanan spiritualnya masing-masing.
Disamping itu, realitas jilbab dalam
kehidupan di masyarakat, terdapat euforia mengenai fenomena
jilbab syar’i dan tidak syar’i. Penggunaan Istilah ‘jilbab syar’i’ sering kali
dikaitkan dengan penggunaan jilbab panjang, longgar, dan warnanya tidak
mencolok. Perempuan yang menggunakan jilbab panjang dan longgar dinilai mempunyai
tingkat kesalehan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang menggunakan
jilbab dengan ukuran yang kecil juga mencolok. Walau begitu, banyak juga
perempuan yang berjilbab panjang, longgar, hingga bercadar pun, sering kali
distigma sebagai kelompok yang pro-kekerasan dan terorisme.
Kesalapahaman dan
perdebatan mengenai jilbab, tidak akan pernah lepas dari diri seorang
perempuan. Apapun yang melekat pada dirinya sering kali menjadi perdebatan yang
berpotensi menuju neraka. Keputusan memakai ataupun tidak memakai jilbab,
seharusnya tidak direspon dengan penghakiman kepada perempuan.
“Kita tidak bisa menghakimi amal seorang perempuan lebih banyak atau sedikit dari kerudung yang ia pakai” -Kalis Mardiasih, Muslimah yang Diperdebatkan
Sebagian manusia telah menjadi makhluk
yang menyebalkan, padahal ia bukan panitia akhirat yang harus repot-repot
memberi penilaian atau bahkan penghakiman terhadap apa yang tampak dari diri
seseorang. Selain menyebalkan, manusia juga sering kali melupakan, bahwa
jobdesknya hanya menjadi hamba yang taat dan memberi kebermanfaatan
seluas-luasnya di bumi Allah.
Komentar